BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tasawuf Masa Nabi
Sejarah Tasawuf dimulai imam Ja’far Al-Shadiq ibnu Muhamad
Bagir ibnu Ali Zaenal Abidin ibnu Husain ibnu Ali bin Abi Thalib. Imam Ja’far
juga dianggap sebagai guru dari keempat imam Ahlulsunnah, yaitu Imam Abu
Hanifah, Maliki, Syafi’i, dan ibnu Hambali.
Ucapan-ucapan Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi
seperti Fudhail ibnu Iyadh Dzun Nun Al-Mishri, Jabir ibnu Hayyan, dan
Al-Hallaj. Di antara imam mazhab di kalangan Ahlulsunnah, Imam Maliki yang
paling banyak meriwayatkan hadits Imam Ja’far.
Kaitan Imam Ja’far dengan tasawuf
terlihat silsilah tariqah, seperti Naqsyabandiyah yang berujung pada sayyidina
Abu Bakar As-Syiddiq ataupun yang berujung pada Imam Ali selalu melewati Imam
Ja’far. Kakek buyut Imam Ja’far dikenal
mempunyai sifat dan sikap sebagai sufi. Bahkan (mesti sulit untuk dibenarkan)
beberapa ahli menyebutkan Hasan Ali Bashri, sufi-zahid pertama sebagai murid
Imam Ali. Sedangkan Ali Zaenal Abidin (ayah Imam Ja’far) dikenal dengan
ungkapan-ungkapan cintanya kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang
berjudul “As-Shahifah As-Sajadiyyah”.
Tasawuf lahir dan sebagai suatu yang disiplin ilmu sejak
abad ke-2 H. Lewat pribadi Hasan Al-Bashri, Sufyan As-Tsauri, Al-Harits ibnu
As’ad Al-Muhasibi, Yazid Busthami. Tasawuf tidak pernah bebas dari kritikan
para ulama’ ahli fiqih, Hadits, dll.
Praktik-praktik Tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan
penyiaran agama islam, yaitu Makkah dan Madinah.
Lahirnya Tasawuf di dorong oleh beberapa faktor berikut :
1. Reaksi atas kecenderungan hidup
hedonis (kesenangan) yang mengumbar syahwat.
2.
Perkembangan teologi yang mengedepankan rasio dan kering
dari aspek moral spiritual.
3. Katalisator yang sejak dari
realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan.
Menurut Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama
dengan lahirnya islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh dan berkembang dari pribadi
Nabi Muhammad Saw.
Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi
Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup,
ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW.
Peristiwa dan perilaku hidup nabi. sebelum diangkat menjadi
Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat (mengasingkan diri) di Gua Hira,
terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pengasingan diri Nabi SAW di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan
khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika
melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke
Sidratulmuntaha (tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di langit ke
tujuh), bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat berdialog dgn Allah.
Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika nabi SAW menerima perintah
dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam.
Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan
dengan alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi
Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih
yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari.
Perikehidupan (sirah) nabi Muhammad SAW juga merupakan
benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak
pernah terpesona dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon: ”Wahai
Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin”
(HR.at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim).
“Pada
suatu waktu Nabi SAW datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq.
Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar,
lalu ia menahan lapar dengan berpuasa” (HR.Abu Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i) .
Ibadah Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal
bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu
riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW
mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan
banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun
beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu
subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya: ”Wahai
Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah,
mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?” nabi SAW menjawab:” Aku
ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” (HR.Bukhari dan Muslim).
Selain banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau
berkata: “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat
kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” (HR.at-Tabrani).
Dalam hadis lain dikatakan bahwa Nabi SAW meminta ampun
setiap hari sebanyak seratus kali (HR.Muslim). Selain itu nabi SAW banyak pula
melakukan iktikaf dalam mesjid terutama dalam bulan Ramadan.
Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada
bandingannya. Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh
Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Dan
sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS.Al
Qalam:4) ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab:
Akhlaknya adalah Al-Qur’an”(HR.Ahmad dan Muslim). Tingkah laku nabi tercermin
dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya.
Dalam diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu
rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain,
sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha
melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa
dalam berusaha.
Oleh karena itu, Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh
kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama
Allah.”.
B.
Tasawuf Masa Sahabat
Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah
kehidupan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan,
kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti
kehidupan rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para
sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya.
Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena
para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan
ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu
perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi
SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidaknya kehidupan
para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW karena mereka menyaksikan langsung apa yang
diperbuat dan dituturkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu Al-Qur’an memuji
mereka: ” Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam)
diantara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan
Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya,
mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”.
(QS.At Taubah:100).
Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab
al-Luma`, tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani (salah seorang tabiin) tentang
kehidupan para sahabat:” Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan
para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai
dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik
musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal
yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah SWT.”
Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan
panutan para sufi secara rinci adalah sbb:
1. Abu Bakar
as-Siddiq
Sejak hari-hari pertama telah kelihatan
bahwa diantara sahabat Nabi, Abu Bakar adalah yang terdekat kepada Nabi. Ia
yang pertama memeluk agama islam diantara orang laki-laki yang dewasa, ia yang
paling banyak memberikan pengorbanannya, baik kepada Nabi khususnya, maupun
kepada islam umumnya. Tidak saja ia melindungi Nabi berdua dalam gua Hira’
waktu Hijrah ke Madina, tidak saja ia merupakan orang yang pertama membenarkan
Rasulullah sepulang dari Isra’ dan Mi’raj, tetapi seorang yang telah memberi
pengorbanan yang tidak terbatas kepada Nabi. Ia telah mengawinkan anaknya
kepada Rasulullah dan ia telah menghabiskan semua kekayaannya untuk beramal
diatas jalan Allah SWT. Bukankah tia-tiap Rasulullah bertanya kepada
sahabatnya, siapa yang bersedia memberikan harta bendanya, ia telah menjawab :
“ Aku ya Rasulullah!” lalu diserahkannya seratus ekor unta kemudian seratus
unta, kemudian seratus ekor unta, demikian seterusnya sampai tak seekor untapun
lagi yang tinggal padanya. Dari seorang hartawan dan saudagar besar yang kaya
raya di Mekkah sampai menjadi seorang yang miskin, yang kadang-kadang harus
menderita kelaparan. Tatkala nabi bertanya kepadanya : “apakah yang tinggal
padamu lagi, jika seluruh unta ini engkau sumbangkan?” Ia menjawab : “Cukup
bagiku Allah dan Rasul-Nya!” Pengorbanan yang terakhir ialah memberikan anaknya
dikawini Nabi, meskipun masih sangat remaja, yaitu Aisyah, yang kemudian
menjadi kesayangan dan kepercayaan seluruh umat Islam.
Pada mulanya ia adalah salah seorang
Kuraisy yang kaya. Setelah
masuk islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang
Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia
memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama
menjawab:”Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta
bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW bertanya kepada:
”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia menjawab:”Cukup bagiku Allah
dan Rasul-Nya.”
Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar
selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid.
Disana Nabi SAW bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia
bertanya:”Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu
menjawab:”Karena menghibur lapar.”
Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai
pakaian. Ia berkata:”Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia,
Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh karena itu Abu
Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan
sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan ibadah dan zikir.
2. Umar bin
Khattab
Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan
kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata:” Allah telah menjadikan
kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan
kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah ia menjabat sebagai
khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.
Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab,
ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua
mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini
disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar
merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian
anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal
(Pembendaharaan Negara) diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan
dibayar dengan jalan memotong gajinya.
Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu
pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan
perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk
surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak
yakin umurnya sampai bulan yang akan datang.
Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar
menghabiskan malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu
siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada
waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan
wajahnya kepada Allah SWT.
3. Usman bin
Affan
Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak
hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah
SWT), banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki
akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara
kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar
berupa kendaraan dan perbekalan tentara.
Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik
seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga
tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin.
Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang.
Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup
mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut
nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu
ekor unta.
Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika
sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika
sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:…”Maka Allah akan
memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan
tidak mengijinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf
(kumpulan lembaran) Al-Qur’an itu masih tetap berada ditangannya.
4. Ali bin
Abi Talib
Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya
dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi
mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus
tentang ini dari Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan
bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus
diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang
artinya:…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” (QS.Al
Kahfi:65).
Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya
yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri
yang menambal pakiannya yang robek.
Suatu waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang
menyapanya:”Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin
(Khalifah)?” Kemudian dijawabnya:”Yang saya bawa ini adalah barang halal,
kenapa saya harus malu?”.
Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali.
Katanya:”Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Talib
memiliki keistimewahan tersendiri dengan pengertian-pengertiannya yang agung,
isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya
tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang
menjadi pegangan serta teladan para sufi.
Kehidupan Para Ahl as-Suffah. Selain keempat khalifah di
atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini
tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam
memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl
as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az
bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud,
Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis
tasawuf (w. 430/1038) menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat
al-Aulia`(Permata para wali) yang artinya: Mereka adalah kelompok yang terjaga
dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan
menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki
keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang
berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah
SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan
kecuali oleh suatu yang mereka tuju.
Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan
sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada mereka seperti
Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tentang ciri-ciri
orang Munafik. Jika ia berbicara tentang orang munafik, para sahabat yang lain
senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum
diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian
Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik.
Adapun Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah
termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe (tokoh pertama)
fakir sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik
Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu
berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin.
Begitu juga Salman Al Farisi salah seorang Ahli Suffah yang
hidup sangat sederhana sampai akhir hanyatnya. Beliau merupakan salah satu Ahli
Silsilah dari Tarekat Naqsyabandi yang jalur keguruan bersambung kepada Saidina
Abu Bakar Siddiq sampai kepada Rasulullah SAW.
Mudah-mudahan tulisan di atas menjadi informasi yang
bermanfaat bagi kita semua sehingga tidak ragu dalam berguru mengamalkan ajaran
Tasawuf yang merupakan inti sari Islam yang bersumber dari ajaran Rasulullah
SAW dan kemudian ajaran mulia ini diteruskan oleh Para Sahabat, Tabi’in, Tabi
Tabi’in serta para Guru Mursyid sambung menyambung dengan tetap menjaga
kemurniannya sehingga ajaran tasawuf zaman Rasulullah SAW sampai kepada kita tetap dalam
keadaan murni. Para Guru Mursyid
adalah khalifah Rasulullah SAW ulama Warisatul Anbiya yang menjaga amanah
Rasulullah SAW, tidak berani menambah dan mengurangi sehingga ilmu Tasawuf itu
tetap terjaga sepanjang zaman.